Gerakan sosial yang terjadi di daerah ini dilakukan oleh Kiai Haji Hasan Maolani (1779-1874) dari Desa Lengkong. Masyarakat mengenalnya sebagai “Eyang Menado”, karena ia diasingkan ke Menado (meskipun sesungguhnya diasingkan ke Tondano, sebelah selatan Menado), selama 32 tahun hingga meninggal dunia di sana.
Sumber-sumber yang memberitakan adanya gerakan ini sangat terbatas. Pertama sekali dilaporkan dalam Laporan Politik Pemerintah Kolonial tahun 1839-1849 (Exhibitum, 31 Januari 1851, no. 27). Kemudian disebutkan pula dalam tulisan E. de Waal, yang berjudul Onze Indische Financien, 1876, secara sangat singkat. Selanjutnya diuraikan cukup panjang, dalam Disertasi D.W.J. Drewes, yang berjudul Drie Javaansche Goeroe’s (1925).
Baru tahun 1975 A. Tisnawerdaya, menulis biografi ringkas Kiai Hasan Maolani. Hingga sekarang masih ada peninggalan K.H. Hasan Maolani, berupa bangunan rumah panggung berdinding anyaman bambu dan benda-benda milik pribadi. Selain itu, masih ada peninggalan berupa naskah yang ditulis di atas kertas dengan tinta warna hitam dan merah. Naskah berjudul Fathul Qorib, ini ditulis dalam huruf Arab Pegon, berbahasa Jawa campur Sunda. Peninggalan berharga lainnya adalah kumpulan surat-surat yang dikirim Kiai Hasan dari pengasingannya.
K.H. Hasan Maolani dilahirkan pada 1199 Hijriah atau 1779 Masehi di Desa Lengkong, sekarang termasuk Kecamatan Garawangi, Kabupaten Kuningan. Menurut silsilahnya Kiai Hasan Maolani, memiliki leluhur hingga kepada Sunan Gunung Jati. Ketika Hasan Maolani dilahirkan, Panembahan Dako, seorang Kiai yang makamnya banyak diziarahi orang karena kekeramatannya, mengatakan bahwa anak ini benar-benar cakap dan memiliki “bulu kenabian”. Maksudnya, memiliki tanda-tanda akan menjadi ulama. Sejak kecil anak ini dikenal memiliki sifat-sifat yang baik. Hatinya lembut berbudi luhur, sayang kepada sesama makhluk, termasuk binatang dan tumbuhan.
Sejak kecil, Hasan Maolani suka menyepi (uzlah) di tempat-tempat yang jarang dikunjungi orang, setelah dewasa ia sering menyepi di Gunung Ciremai. Hasan mula-mula menimba ilmu di Pesantren Embah Padang. Setelah itu, ia menimba ilmu di Pesantren Kedung Rajagaluh (Majalengka) dan Pesantren Ciwaringin, Cirebon. Selain itu, Hasan masih belajar lagi di beberapa Pesantren lain. Setelah dewasa, Hasan Maolani, belajar tarekat: Satariyah, Qodariyah, Naksabandiyah, dan seterusnya. Namun akhirnya Hasan Maolani menganut tarekat Satariyah.
Sekembali dari berguru di beberapa Pesantren, Hasan Maolani kembali ke desa asalnya di Lengkong dan membuka Pesantren. Sejak ia membuka Pesantren, berduyun-duyun orang yang datang ingin menjadi santrinya. Jumlah santri yang mondok cukup banyak hingga 40 pondok yang disediakan tidak mampu menampungnya. Selain itu, makin hari makin banyak orang datang kepada K.H. Hasan Maolani untuk berbagai keperluan, mulai dari berobat hingga meminta tolong untuk menyelesaikan berbagai persoalan hidup. Tentu saja dengan adanya orang yang berkumpul setiap hari, dalam jumlah banyak mengundang kecurigaan Pemerintah Kolonial, yang baru saja usai menghadapi Perang Diponegoro (1825-1830).
Salah satu ajaran Kiai Hasan Maolani, yang penting dan dianggap membahayakan pemerintah kolonial adalah tentang “jihad”. Ajaran yang ditulisnya dalam Fathul Qorib mengatakan: “Jika sekiranya para orang kafir memasuki negeri Muslimin atau mereka bertempat yang dekat letaknya dengan negeri orang Islam, maka dalam keadaan yang demikian itu hukum jihad adalah fardlu ain bagi kaum Muslimin. Wajib bagi para ahli negeri itu untuk menolak (menghalau) para orang kafir dengan sesuatu yang dapat dipergunakan oleh kaum Muslimin untuk menolaknya”.
Jelas, bahwa Kiai Hasan Maolani memiliki kesadaran bahwa negerinya sedang dijajah. Kesadaran ini disampaikan kepada masyarakat, yang datang maupun yang jauh melalui surat-suratnya. Perang Diponegoro menyisakan pelajaran bagi pemerintah kolonial untuk segera meredam ajaran-ajaran yang dianggap membangkitkan kesadaran rakyat untuk menentang orang kafir (dalam hal ini pemerintah jajahan). Itulah sebabnya, pemerintah kolonial melalui kaki tangannya di Kabupaten Kuningan segera melancarkan tudingan bahwa Kiai Hasan Maolani dituduh menyebarkan ajaran yang tidak sesuai dengan syariah, menghasut rakyat untuk melakukan perlawanan. Padahal, ajaran-ajarannya seperti yang disebutkan di atas, tidak ada yang tidak sesuai dengan syariah.
Dalam hal ini, kita bisa menduga apa motif pemerintah kolonial dalam melancarkan tuduhan kepada Kiai Hasan, tidak lain hanya untuk menjatuhkan nama Kiai Hasan di mata masyarakat pribumi dan mencari-cari kesalahannya. Residen Priangan setelah mendapat informasi mengenai surat edaran dan akibat yang ditimbulkannya, segera mengirim surat kepada Gubernur Jenderal di Batavia, menyampaikan usul agar kerusuhan itu harus diselidiki di Lengkong, Kabupaten Kuningan (Cirebon).
Pengaruh Kiai Hasan Maolani semakin mendalam di kalangan penduduk, bahkan sampai merembet kepada para pemimpin pribumi. Hal ini dijadikan alasan oleh Residen untuk menangkap Kiai Hasan. Residen Priangan menulis surat ke Batavia yang menyatakan bahwa rakyat lebih menghargai dan patuh kepada Kiai Hasan Maolani daripada kepada Bupati Kuningan. Residen juga melaporkan bahwa Kiai Hasan akan melawan “gubernemen” (pemerintah Hindia Belanda) dan ajarannya sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Kiai Hasan Maolani yang sederhana itu dengan kata-katanya yang dibuat sedemikian rupa, sehingga dipandang sebagai orang yang mempunyai kekuatan luar biasa dan dilebihkan dari keistimewaan ulama lainnya, sungguh sangat membahayakan masyarakat serta mengganggu ketenteraman jika kepentingan kiai tersebut mendapat angin.
Pada bagian akhir suratnya, Residen Priangan menulis kata-kata “Saya berharap bahwa Paduka Yang Mulia akan mendapat alasan, juga dengan laporan yang telah diberikan oleh para Bupati. Mengenai orang tersebut, untuk mengasingkan Kiai Lengkong dari Pulau Jawa”. Melihat gerakan Kiai Hasan Maolani, yang semakin hari dianggap semakin berbahaya, pemerintah kolonial akhirnya mengambil tindakan Kiai Hasan harus ditangkap.
Dalam catatan keluarga, Kiai Hasan Maolani dibawa oleh petugas pemerintah kolonial, pada hari kamis, tanggal 12 Safar 1257 H (1837 Masehi), waktu asar. Dikatakan bahwa kiai akan dibawa menghadap kepada Residen Cirebon untuk dimintai keterangan. Namun ternyata, Kiai Hasan tidak pernah kembali. Ia ditahan di Cirebon. Ternyata setelah berada dalam tahanan di Cirebon, para murid, santri, dan masyarakat umum datang berduyun-duyun setiap hari menjenguk Kiai Hasan Maolani.
Hal ini membuat pemerintah kolonial kewalahan. Oleh karena itu, diputuskanlah untuk memindahkan Kiai Hasan ke Batavia dengan diangkut kapal laut. Di Batavia, Kiai Hasan Maolani tetap saja mendapat kunjungan para murid dan santrinya dalam jumlah yang mengkhawatirkan. Oleh karena itu, setelah ditahan selama 9 bulan di Batavia, diambil tindakan lain: Dengan surat keputusan tanggal 6 Juni 1842, Kiai Hasan Maolani diasingkan ke Menado dengan status sebagai tahanan negara.
Oleh: Ust. Busthomi